PENDAHULUAN
Agama Islam sudah hadir di Aceh pada awal abad 4
Hijriah. Agama Islam tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga
menjadi agama rakyat yang kemudian menjadi agama resmi kerajaan Aceh.
Sebagai agama resmi kerajaan ia berfungsi sebagai landasan dan asas bagi
pembinaan adat, budaya dan karakter masyarakat yang santun. Lewat
bimbingan ajaran agama Islam secara konprehensif masyarakat Aceh waktu
itu menjadi masyarakat madani yang jujur, adil, ikhlas dan berani
menegakkan kebenaran serta mengusir kezaliman. Dari semangat itulah
lahir sikap ksatria dan semangat juang untuk mengusir penjajahan.
Keberadaan Islam ketika itu mengantarkan Aceh menjadi salah satu dari
lima Negara Islam yang disegani, dan memberikan warna tersendiri dalam
sejarah perkembangan Islam di bumi Iskandar Muda.
Sejarah perjalanan
perkembangannya di Aceh agama Islam mengakar dalam masyarakat, tidak
terlepas dari perjuangan para ulama bersama Pendidikan Islam yang
diasuhnya. Lembaga khas yang sangat identifikasi dengan Islam itu sampai
hari ini telah berkembang diseluruh wilayah Aceh yang dikenal dengan
sebutan (nama) Dayah atau Pesantren dalam istilah bahasa Indonesia.
Dayah berasal dari bahasa Arab “Zawiyyah” yang berarti sudut, maksudnya
adalah pengajian yang diadakan di sudut-sudut Mesjid, pengajian
disudut-sudut Mesjid merupakan pola pendidikan khas agama Islam di abad
pertengahan. Semenjak lahirnya hingga sekarang ini dayah disamping
berperan sebagai Lembaga Pendidikan yang melahirkan kader Ulama dan
pemimpin Aceh secara berkesinambungan, juga berperan sebagai lembaga
sosial kemasyarakatan yang cukup banyak menyumbangkan ide-ide bagi
pemberdayaan masyarakat sekitarnya. Karena fungsi ganda yang telah
diperankan oleh Dayah, maka tidak berlebihan jika oleh masyarakat
mengklaim bahwa Dayah adalah milik mereka, secara positif perasaan
memiliki itu mendorong mereka untuk mengabdikan diri bagi kepentingan
dan kesinambungan kehidupan Dayah melalui bantuan dan perhatian penuh
terhadap lembaga suci itu. Tarik menarik dan saling mengisi (interaktif
dan interpedensi) antara Dayah dengan masyarakat telah menguatkan sisi
masing-masing yang bersekwensi positif bagi kejayaan syariat Islam di
tanah Serambi Makkah ini.
Sejarah perjuangan Dayah di masa lalu telah
mencatat prestasi gemilang. Ini terukir dengan kiprah para ulama yang
notabenenya adalah sebagai elit kaum Dayah semasa sebelum kemerdekaan,
dimana mereka memegang kendali kepemimpinan berkharisma yang malah
berpengaruh dari pada kekuasan formal pada masa penjajahan. Kaum Dayah
juga tampil sebagai komando jihad untuk mengusir penjajah demi kebebasan
rakyat dari penindasan. Nama Tgk Chik Serta ulama, para syuhada yang
lain tampil sebagai bukti sejarah bahwa sesungguhnya kaum Dayah adalah
para pejuang dan pemimpin perjuangan.
SEJARAH BERDIRI
Mesjid
tua yang masih berdiri kokoh di desa Cot Trueng merupakan mesjid yang
sarat dengan nilai sejarah karena mesjid ini didirikan oleh Teuku
Bentara Keumangan seorang Ulee Balang dari Keumangan Pidie, yang
didirikan kira-kira pada tahun 1812M. Diseputaran mesjid ini
didirikanlah balai-balai untuk pengajian. Dari generasi ke generasi
pengajian di pekarangan mesjid tersebut terus berlanjut, walau sempat
terjadi pasang surut ketika agresi Kolonial Belanda berkecamuk. Hingga
di akhir penjajahan Jepang tercatat dua orang ulama yang mengajar di
mesjid Cot Trueng, yaitu Teungku H Muhammad Syam yang terkenal dengan
panggilan Teungku Di Lhokweng, kemudian diteruskan oleh Teungku Abdullah
Geuchik Paneuk yang merupakan putera daerah Cot Trueng.
Sekitar
tahun 1934 Teungku Abubakar yang terkenal dengan panggilan Abu Cot kuta,
yang berasal dari Cot Kuta Sawang mendirikan pengajian di sekitar
mesjid Krueng Mane. Beliau merupakan ulama terkenal dimasa tersebut,
sehingga tercatat sebagai ulama dizaman pembaharuan dalam buku “Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia” karangan Prof Dr Mahmud Yunus. Zaman
pembaharuan ialah masa dimana ulama mulai mendirikan pengajian kembali
setelah perang yang berkepanjangan dengan pihak Kolonial Belanda, yang
telah menyebabkan hilangnya penerus-penerus agama. Patut diketahui
Ulama-ulama tersebut bukanlah membelot kepada pihak Kolonial, tapi
mereka diperintahkan oleh Tgk Chik Di Tiro untuk menyerah dan wajib
lapor kepada Belanda agar keseimbangan antara pendidikan agama dan umum
(pendidikan kepada para anak-anak Ulee Balang yang dibentuk oleh
Belanda) tercapai setelah para Ulee Balang lebih dahulu menyerah. Hal
itu disebabkan oleh ketakutan Tgk Chik Di Tiro akan hilangnya ilmu agama
akibat perang yang berkepanjangan yang sudah banyak merengut nyawa para
tokoh-tokoh agama.
Di awal tahun 1946 beliau berencana untuk
pindah dari Krueng Mane karena kondisi keamanan tidak memungkinkan lagi.
Akhirnya berkat kesepakatan dengan masyarakat Kemesjidan Cot Trueng,
pindahlah Abu Cot Kuta ke mesjid Cot Trueng sehingga berdirilah Lembaga
Pendidikan Islam Dayah Raudhatul Ma’arif pada tahun 1946 dibawah
pimpinan Tgk Abu Bakar (Abu Cot Kuta), berlokasi di Mesjid Al-Akmal
Desa Cot Trueng, Kemukiman Bungkaih, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten
Aceh Utara, Propinsi Aceh, Kira-kira 59 km disebelah barat Lhoksukon
(Ibu Kota Aceh Utara), atau kira-kira 25 Km disebelah barat kota
Lhokseumawe. Di bawah kepemimpinan Abu Cot Kuta Dayah Raudhatul Ma’arif
ini telah banyak menghasilkan alumni–alumni yang sebagian dari mereka
bisa melanjutkan studinya, baik didalam negeri maupun diluar negeri. Ada
pula yang bekerja di Instansi Pemerintahan, berwiraswasta dan ada pula
yang membuka cabang Pesantren di desanya masing-masing.
Setelah beliau wafat pada tahun 1969 lembaga ini terhenti sebagai sebuah
dayah yang dikunjungi santri dari luar daerah, karena tidak ada
pimpinan yang dapat meneruskannya namun begitu pengajian di Lembaga
Pendidikan ini terus berlanjut sebagaimana sebelum kehadiran Abu Cot
Kuta ke Cot Trueng. Setelah Abu Cot Kuta tiada, pengajian dilanjutkan
oleh Tgk M Thaib Yusan Geurugok sekitar dua tahun, beliau merupakan guru
pembantu semasa Abu Cot Kuta. Kemudian diteruskan oleh Tgk Ishaq Ali,
pada tahun 1986 Tgk Ishaq Ali menerima panggilan Ilahi. Kemudian
dilanjutkan oleh Tgk M Yusuf Ben Cut keduanya merupakan putera Cot
Trueng.
Keinginan masyarakat Kemesjidan Cot Trueng untuk menghidupkan
kembali Dayah Raudhatul Ma’arif semakin menggebu setelah adanya harapan
pimpinan di masa depan dayah tersebut, yaitu Tgk Muhammad Amin Daud
yang merupakan cucu almarhum Abu Cot Kuta. Pada waktu itu Tgk M Amin
Daud sudah menjadi guru besar didayah MUDI Samalanga (Tgk M Amin mengaji
di Samalanga sudah sejak tahun 1973). Maka atas kesepakatan pemuka
masyarakat Kemesjidan Cot Trueng dan para alumni diresmikanlah kembali
Dayah Raudhatul Ma’arif pada tanggal 21 Juni 1993 M bertepatan dengan 1
Muharram 1414 H dibawah pimpinan Teungku H Muhammad Amin Daud.
Semasa
kepemimpinan Tgk H. M Amin Daud yang biasa dipanggil dengan Ayah Cot
Trueng, nama Dayah Raudhatul Ma’arif ditambahlah dengan kata-kata
Al-‘Aziziyyah diujungnya sehingga menjadi Dayah Raudhatul Ma’arif
Al-‘Aziziyyah dikarenakan Ayah Cot Trueng adalah alumni dayah MUDI
Samalanga. Dibawah kepemimpinan beliau ruh Abu Cot Kuta terasa hidup
kembali di Cot Trueng, sehingga Dayah Raudhatul Ma’arif Al-‘Aziziyyah
menjadi dayah yang maju dan terkenal. Hal ini dapat dibuktikan dengan
hadirnya santri dari berbagai kabupaten di Propinsi Aceh juga dari luar
Aceh.
SISTIM PENDIDIKAN
Sistim Pendidikan yang sekarang
ditempuh adalah sistim pendidikan Salafiyyah (tradisional) dengan
pengkajian kitab berbahasa Arab ( Kitab Kuning) dari bermacam disiplin
ilmu agama yang mencakupi sebagai berikut: Ulumul Qur’an, Nahwu, Sharaf,
Tafsir Al-Qur’an, Bayan, Musthalah Hadis, Ushul Fiqh, Tafsir Hadits,
Mantiq, Tauhid, Balaghah, Fiqh, Tasauf danTarikh Islam. Juga dipelajari
cara berpidato (Muhadharah) dan cara membaca Shalawat yang berbentuk
syair-syair Arab (Barzanji, Dala-il Khairat) sebagai pelajaran ekstra
kurikuler.
PENUTUP
Dayah atau Pesantren berbeda dengan
lembaga-lembaga pendidikan lain yang bukan Dayah. Produknya pun berbeda.
Diantara ciri khususnya yaitu kesederhanaan. Sederhana tempat dan
gedungnya, sederhana kehidupan santrinya. Tujuannya tidak muluk-muluk,
cukup sederhana dan hanya satu, yaitu mencetak manusia yang baik. Baik
segala-galanya, termasuk ilmu dan penggunaannya juga yang baik. Biar
kemanfaatannya benar-benar baik. Jadi pesantren ingin mewujudkan
kebaikan lewat kesederhanaan. Bukan kesederhanan yang baik, bukan pula
kebaikan yang sederhana, tetapi kebaikan disegala bidang, kebaikan pada
kemewahan, kebaikan pembangunan, kebaikan pada cara berfikir dan
sebagainya. Kebaikan-kebaikan tersebut oleh Dayah akan diciptakan lewat
jalan kesederhanaan.
Oleh karena itu, Dayah membekali santrinya
dengan nilai dasar kebaikan. Yaitu keikhlasan, ikhlas adalah tanpa
pamrih. Jiwa keikhlasan santri tampak lebih menonjol daripada
sikap-sikap kejiwaan yang lain. Semakin tebal jiwa keikhlasan tertanam
pada Dayah, makin pesatlah perkembangan kemajuan Dayah itu. Keikhlasan
akan mempertebal keyakinan, membuat orang selalu optimis dan semakin
maju. Semangat keikhlasan membuat orang sedia memulai usaha dari nol
kembali. Membuat orang bersedia berkorban demi agama, Nusa dan Bangsa.
Keikhlasan ukuran pertama gersangnya suatu Dayah. Dengan keikhlasan yang
tinggi, seorang Teungku yang tadinya tidak dikerumuni oleh
beratus-ratus santri, menjadi rumahnya terjepit ditengah-tengah kamar
santri.
Santri ikhlas belajar, ia belajar dengan tanpa pamrih. Ia
mengabdi tanpa pamrih, menolong tanpa pamrih, berjuang tanpa pamrih,
membangunpun tanpa pamrih. Pola tanpa pamrih itulah ajaran sang
Teungku/Ulama. Karena benar-benar tanpa pamrih, maka Teungku/Ulama
selalu mendapat perkenan dihati setiap orang. Mendapat penuh
kepercayaan, menjadi tempat mengadu dan dijadikan pemutus kata.
0 komentar:
Posting Komentar